Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 34]
Rabu, 7 Februari 2018

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, alhamdulillah bisa dipertemukan kembali untuk memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya kita telah memasuki pembahasan bab rasa takut terhadap syirik. Dimana Syaikh Muhammad at-Tamimi menyebutkan dua buah ayat yang menunjukkan wajibnya kita untuk merasa takut akan bahaya syirik.

Ayat pertama yang beliau bawakan di dalam bab ini adalah firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48 dan 116). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa syirik dan bahwasanya syirik merupakan dosa besar yang paling besar.

Ayat kedua yaitu firman Allah (yang artinya), “[Ibrahim pun berdoa]… Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim : 35). Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sosok yang telah merealisasikan tauhid pun merasa takut akan syirik -bahkan dalam bentuknya yang paling jelas; yaitu menyembah patung- maka bagaimana lagi dengan kita.  

Kemudian Syaikh membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar.” Maka beliau pun ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Yaitu riya’.” (HR. Ahmad dan Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

Hadits ini memberikan faidah bahwa semestinya kita merasa takut terjerumus syirik. Salah satu bentuk syirik itu adalah dengan menampakkan ibadah dengan tujuan mendapatkan pujian atau kedudukan di mata manusia yaitu riya’. Meskipun riya’ ini syirik ashghar tetapi ia juga menyebabkan terhapusnya amalan dan sangat besar kemungkinannya ia menimpa pada diri orang-orang salih. Hadits ini juga menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya sehingga beliau memperingatkan umat ini dari keburukan dengan segala bentuknya, sebagaimana beliau juga menerangkan kebaikan dengan segala bentuknya (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Mulakhosh fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 45)

*Nasihat Ulama Tentang Keikhlasan*

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang sembari menasihatinya, “Hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’ dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya. Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam keadaan ia tercampuri ujub.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578)

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niatnya.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 35)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati penyakit yang lebih sulit daripada niatku. Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal. 8)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal.65)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas dari ujub…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

*Penjelasan Seputar Syirik Akbar*

Syirik akbar adalah perbuatan atau keyakinan yang membuat pelakunya keluar dari Islam. Bentuknya ialah dengan menujukan salah satu peribadatan (lahir maupun batin) kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah, berkorban untuk jin, dsb. Apabila ia meninggal dan belum bertaubat maka akan kekal berada di dalam neraka. Macam-macam syirik akbar :

Pertama; Syirik dalam hal do’a. Yaitu perbuatan memanjatkan permohonan kepada selain Allah disamping kepada Allah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Apabila mereka menaiki kapal (dan terombang-ambing di tengah samudera) maka merekapun berdo’a kepada Allah dengan ikhlas (tidak syirik sebagaimana ketika dalam kondisi tentram di darat). Kemudian tatkala Kami selamatkan mereka ke daratan maka merekapun berbuat syirik.” (al ‘Ankabuut : 65). Termasuk kategori syirik ini adalah : meminta perlindungan (isti’adzah) kepada selain Allah dalam perkara yang hanya dikuasai oleh Allah, meminta pertolongan (isti’anah) kepada selain Allah, meminta dihilangkan bala (istighatsah) kepada selain Allah, dll.

Kedua; Syirik dalam hal niat dan keinginan. Yaitu melakukan amal ibadah dengan niat karena selain Allah. Seperti orang yang beramal akhirat semata-mata untuk meraih keuntungan duniawi. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa yang mengharapkan kehidupan dunia dan perhiasannya maka Kami akan penuhi keinginan mereka dengan membalas amal itu di dunia untuk mereka dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak meraih apa-apa ketika di akhirat melainkan siksa neraka dan lenyaplah semua amal yang mereka perbuat selama di dunia dan sia-sialah segala amal usaha mereka.” (Huud : 15-16)

Ketiga; Syirik dalam hal ketaatan. Yaitu mentaati selain Allah untuk berbuat durhaka kepada Allah. Seperti contohnya mengikuti para tokoh/pemimpin/ulama dalam hal mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka telah menjadikan para pendeta (ahli ilmu) dan rahib (ahli ibadah) mereka sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah, begitu pula (mereka sembah) Al Masih putera Maryam. Padahal mereka itu tidak disuruh melainkan supaya menyembah sesembahan yang satu. Tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, Maha suci Dia (Allah) dari segala bentuk perbutan syirik yang mereka lakukan.” (at Taubah : 31)  

Keempat; Syirik dalam hal kecintaan. Yaitu mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang mengangkat sekutu-sekutu selain Allah yang mereka cintai sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah.” (al Baqarah : 165). Kalau mensejajarkan saja sudah begitu besar dosanya, lalu bagaimana lagi jika seseorang justru lebih mencintai pujaannya lebih dalam daripada kecintaannya kepada Allah ? Lalu bagaimana lagi orang yang sama sekali tidak menaruh rasa cinta kepada Allah ?! Laa haula wa laa quwwata illa billaah (lihat at Tauhid li shaffits-tsaalits al ‘aali, hal. 10-11)

*Penjelasan Seputar Syirik Ashghar*

Syirik ashghar yaitu perbuatan atau keyakinan yang mengurangi keutuhan tauhid. Apabila seseorang terjerumus di dalamnya maka dia menanggung dosa yang sangat besar, bahkan dosa besar yang terbesar di bawah tingkatan syirik akbar dan di atas dosa-dosa besar lain seperti mencuri dan berzina. Namun orang yang melakukannya tidak sampai keluar dari Islam. Dan apabila meninggal dalam keadaan berbuat syirik ashghar ini pelakunya termasuk orang yang diancam tidak diampuni dosanya dan terancam dijatuhi siksa di neraka, meskipun tidak akan kekal di sana. Syirik ashghar ini terbagi menjadi syirik zhahir (tampak) dan syirik khafi (tersembunyi/samar)

Pertama;.Syirik zhahir. Jenis ini meliputi ucapan dan perbuatan fisik yang menjadi sarana menuju syirik akbar. Atau bisa juga diartikan dengan ucapan dan perbuatan yang disebut sebagai syirik oleh dalil-dalil syari’at akan tetapi tidak mencapai tingkatan tandid/persekutuan secara mutlak. Contohnya adalah : bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Tirmidzi, beliau (Tirmidzi) menghasankannya, dan dishahihkan juga oleh al Hakim). Contoh lainnya adalah : mengatakan maa syaa’a Allahu wa syi’ta (apa pun yang Allah kehendaki dan kamu inginkan). Ketika ada seseorang yang mengatakan ucapan itu kepada beliau, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan bersabda, “Apakah engkau hendak menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah ?! Katakanlah Apa pun yang Allah kehendaki, cukup itu saja” (HR. Nasa’i) Atau mengatakan : ‘Seandainya bukan karena dokter maka saya tidak akan sembuh’, dan lain sebagainya. Adapun yang berupa perbuatan fisik ialah seperti memakai jimat untuk tolak bala apabila meyakininya sebagai sebab perantara saja untuk mewujudkan keinginannya. Akan tetapi jika dia meyakininya sebagai faktor utama penentu tercapainya tujuan maka status perbuatan itu berubah menjadi syirik akbar dan mengeluarkan pelakunya dari lingkaran Islam.

Kedua; Syirik khafi. Jenis ini terletak di dalam gerak-gerik hati manusia. Ia dapat berujud rasa ingin dilihat dan menginginkan pujian orang dalam beramal (riya’) atau ingin didengar (sum’ah). Seperti contohnya; membagus-baguskan gerakan atau bacaan shalat karena mengetahui ada orang yang memperhatikannya. Contoh lainnya adalah bersedekah karena ingin dipuji, berjihad karena ingin dijuluki pemberani, membaca Qur’an karena ingin disebut Qari’, mengajarkan ilmu karena ingin disebut sebagi ‘alim, dll. Dengan catatan dia masih mengharapkan keridhaan Allah dari perbuatannya itu. Amal yang tercampuri syirik semacam ini tidak akan diterima oleh Allah. Dan apabila ternyata dia hanya mencari tujuan-tujuan hina itu maka perbuatan yang secara lahir berupa amal shalih itu telah berubah menjadi syirik akbar, sebagaimana halnya riya’nya orang munafik. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab, “Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR. Ahmad, dishahihkan al Albani dalam ash Shahihah no. 951 dan Shahihul Jami’ no. 1551) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau tidak diberi maka dia murka. Binasalah dan rugilah dia..” (HR. Bukhari) (lihat at Tauhid li shaffits tsalits al ‘aali, hal. 11-12)

Apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11)

Semoga Allah berikan taufik kepada kita.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-34/